Bertiup dengan bebas tak mengira
arah. Perlahan mendekat membuatku merasa sejuk. Dikala pagi ia menentramkan, dikala
siang ia menenangkan, dikala petang ia menghanyutkan, dan dikala malam ia
begitu riuh. Selalu berkejaran dengan desis, juga menghanyutkan awan. Tak
nampak namun mampu mengoyak raksasa angkasa. Begitulah sang penghantar cinta.
Desahnya tak terlupa dalam dekap. Hanya siutan perlahan yang mampu
menyamarkannya. Gejolaknya riuh di alam dan angan. Karena mencintai angin harus menjadi siut.
Gemricik sungai membawa peradaban. Mengalirkan
sejuta kenangan. Akan impian terpendam dan penyesalan harapan. Mengalir dengan
lembut pada dalamnya perasaan. Riuh di permukaan membuat hanyut perasaan. Lalu
singgah di danau yang amat tenang. Dalamnya tak tersentuh. Dengan permukaan
datar tak beriak. Begitu sulit untuk diterka. Selalu tenang bergeming. Hanya
rintik hujan yang mampu membuatnya bersuara. Kemudian menuju laut, persinggahan
terakhir sebelum menguap ke alam mimpi. Dengan hantaman ombak terhadap kokohnya
sang karang. Selalu menerjang tak kenal waktu. Maka hanya ricik yang mampu
mengungkap segalanya. Dan jangan menjadi rintik, karena mencintai air harus menjadi ricik.
Menjulang tinggi menyentuh
keabadian. Membuat siapapun terpana karenanya. Tak cukup bagi sebagian manusia
hanya untuk memandang keperkasaannya. Dengan tekad meraja mencoba menaklukan
sang ksatria. Meskipun pedangnya siap menyayat hati. Meskipun amarahnya siap
keluar dengan gemuruh tak tertandingi. Namun keindahannya menawarkan kedamaian.
Yang dicari siapapun. Yang paling dicari oleh para pecinta temaram malam.
Meskipun harus menaklukan terjalnya tubuh sang ksatria. Karena mencintai gunung harus menjadi terjal.
Berkobarnya api dikala dingin menyergap adalah sebuah anugerah. Membuat sebuah dekapan menjadi semakin berarti. Menjadi teman dalam gulitanya malam. Menyinari wajah lelah yang akan bersandar dalam peraduan. Gejolak di hati jugalah serupa. Bersama menjadi bara, kemudian meredup menjadi abu. Hangatnya selalu bersemayam dalam ingatan. Dan panasnya menjadi pelajaran. Bagi siapapun yang ingin menggapai cinta dengan jemari lemahnya. Ataupun yang ingin memeluknya erat hingga datang keabadian. Jilatnya menyakitkan, membuat luka yang tak terlupakan. Maka jangan kau benci luka itu. Karena mencintai api harus menjadi jilat.
Berkobarnya api dikala dingin menyergap adalah sebuah anugerah. Membuat sebuah dekapan menjadi semakin berarti. Menjadi teman dalam gulitanya malam. Menyinari wajah lelah yang akan bersandar dalam peraduan. Gejolak di hati jugalah serupa. Bersama menjadi bara, kemudian meredup menjadi abu. Hangatnya selalu bersemayam dalam ingatan. Dan panasnya menjadi pelajaran. Bagi siapapun yang ingin menggapai cinta dengan jemari lemahnya. Ataupun yang ingin memeluknya erat hingga datang keabadian. Jilatnya menyakitkan, membuat luka yang tak terlupakan. Maka jangan kau benci luka itu. Karena mencintai api harus menjadi jilat.
Cinta adalah impian bagi setiap
insan. Disapa oleh cinta adalah kebahagiaan yang akan selalu diingat meski
waktu merenggut segalanya. Namun bukan berarti setiap cinta, setiap impian bisa
kita raih. Menyentuhnya pun tak mampu. Hingga terkadang dengan melihatnya saja
hati terasa tentram. Meski hanya sesaat, meskipun semu. Hanya ada dua alasan
mengapa manusia gagal meraih impiannya. Jikalau impian adalah seumpama sebuah
cakrawala. Hanya awan yang mampu menghalanginya, atau horizon yang dengan
dingin membatasinya. Mereka bisa sangat dekat, sedekat rembulan menyapa
bintang-bintang kehidupan. Dan mereka bisa jauh, sejauh matahari mengejar sang
dewi malam. Namun jarak bukanlah penghalang bagi mereka yang bermimpi untuk
merengkuh cakrawala. Karena mencintai
cakrawala harus menebas jarak.
Dirimu adalah alasan mengapa aku
tetap berdiri disini. Meskipun tak lagi diriku mampu untuk menatapmu. Meskipun
tak lagi kudapati senyum milikmu yang mengembang. Dan meskipun tak lagi
kutangkap sorot matamu yang menatapku. Dirimulah penguasa alam sadarku. Yang
terkadang merasuk dalam mimpi-mimpi sunyiku. Dan dirimulah yang menjadi
penguasa imajinasiku. Yang terkadang tertuang melalui sebuah coretan. Meskipun
tak pernah terucap dalam ucapan. Dirimu adalah angin sang pengembara sunyi,
dirimu adalah air yang menjadi candu para pujangga, dirimu adalah gunung simbol
keperkasaan, dirimu adalah api yang menerangi sejengkal kepiluan, dan dirimu
adalah cakrawala yang terlalu luas untuk dipahami. Sedangkan aku adalah siut
yang menemani angin bergerilya tak kenal waktu, aku adalah ricik yang membuat
air memiliki pesona menenangkan, aku adalah terjal yang menjadi pelindung
gunung, aku adalah jilat yang membuat api begitu mengerikan, dan aku adalah
jarak yang membuat cakrawala memiliki arti. Maka mencintaimu harus menjadi aku.
Terinspirasi dari puisi milik Sapardi Djoko Damono - Sajak Kecil tentang Cinta
Kage-