Aku
beripikir tentang hujan, yang dengan sendunya perlahan terjatuh dari
ketinggian. Terhempas oleh jarak yang melampaui batas. Aku pikir rintik hujan akan
menghanyutkan setiap jengkal luka yang bersemayam di dalam relung sukmaku, tapi
kenyataannya setiap tetes air hujan yang mengenai wajahku malah semakin
membuatku menderita.
Di bawah langit yang kusam ini, aku selalu bertanya-tanya pada siut angin yang memekakan telinga. Dimanakah kamu sekarang? Apa yang sedang kamu bicarakan? Siapa saja yang kamu temui hari ini? Kemana kamu pergi? Apa hal terakhir yang kamu pikirkan tentangku? Saat ini, siapakah yang sedang kamu cintai? Dirimu masih berusia 16 tahun saat itu, saat kita mulai saling merajut benang merah di antara hati kita.
Di bawah langit yang kusam ini, aku selalu bertanya-tanya pada siut angin yang memekakan telinga. Dimanakah kamu sekarang? Apa yang sedang kamu bicarakan? Siapa saja yang kamu temui hari ini? Kemana kamu pergi? Apa hal terakhir yang kamu pikirkan tentangku? Saat ini, siapakah yang sedang kamu cintai? Dirimu masih berusia 16 tahun saat itu, saat kita mulai saling merajut benang merah di antara hati kita.
Bahkan saat aku mulai tidak bisa mengingat
seperti apakah rupa wajahmu, dan juga seperti apa suaramu, perasaan ini semakin
menjadi. Ketika detik jarum jam terus berdetak merampas waktu, perasaan ini
malah semakin tumbuh dengan indahnya. Akar-akar cinta yang terus menusuk ke
dalam, tetapi bunga tetap saja tak muncul. Enggan memberikan hidup. Bisakah aku
melupakanmu?
Seberapa tinggi aku dapat terbang
dengan sayap-sayap patahku? Bagaimana aku dapat hidup jika tidak terbang
melihat dunia? Aku pernah merasakan bagaimana rasanya berada di antara awan-awan.
Melihat semuanya dari ketinggian sangatlah menyenangkan. Kautahu hanya dengan
itulah aku bisa melihatmu. Kau bagaikan angin di bawah sayapku, sendiri aku tak
bisa seimbang. Ketika angin berhenti menerpa, aku jatuh menuju telaga nestapa.
Semenjak aku bertemu denganmu, aku
merasa bahwa alasanku hidup adalah untukmu. Meski pun aku tak bisa mengabaikan
setiap masalah yang mengelilingiku, mataku selalu tertuju padamu. Lalu apa yang
bisa membuat mataku terus melihat ketika kau sudah menghilang dari jangkauan pandangan mataku? Saat kedua pandangan mata kita bertemu, aku tahu itu lebih berharga
daripada percakapan selama seribu tahun. Maka dari itu aku akan menyimpannya
rapat-rapat di suatu sudut dalam hatiku.
Saat itu, tentunya kita pernah
berada di satu tempat yang sama. Melintas di depan kelasmu, aku masih bisa
mengingat senyummu yang mengembang waktu itu. Di tepian kolam saat sekolah
usai, aku menangkap matamu yang tengah memandangiku. Dan kemudian, dengan
mengandalkan kenangan itu, kita berjalan menuju masa depan masing-masing.
Mengatasi semua ketidakpastian, kita menatap hari esok.
Waktu itu, kita terus mengulangi
kesalahan yang sama. Enggan beranjak dari nyamannya keadaan. Meski pun
demikian, kita tetap berjalan ke depan. Meyakini bahwa suatu saat di keabadian,
kita mungkin akan bersama. Hingga pada suatu hari, saat kita tiba-tiba terhenti
di sebuah persimpangan. Kita sadar bahwa tidak ada keabadian yang akan menjamin
diri kita. Masa lalu kita akan selalu aku kenang, masa lalu yang bermandikan
cahaya malam. Waktu itu di sebuah persimpangan, tempat dimana kenanganku selalu
berakhir. Saat kita masing-masing berumur 17 tahun, kita pernah ada di suatu
tempat yang sama.
Terinspirasi dari Film Live Action Jepang yang berjudul Bokura ga Ita