Pagi, Kopi, dan Ironi

Ada yang salah denganku pagi ini. Lubang menganga yang tak kasat mata. Berdiam tergenang di dasar kebahagiaan. Kurasa ada setitik rindu yang membakas di telaga dahaga. Yang mencekik tenggorokanku agar tak bersuara. Aku ingin bersua dengan seseorang. Yang belakangan muncul di imaji liarku. Tak kuingat wajahnya, tetapi aku paham sosoknya.

Pagi ini ada kopi yang berdiam di cangkir kehidupan. Kepulan asapnya menyebarkan aroma nyata kerinduan. Yang diam-diam menyelinap ke dalam relung jantungku. Bersembunyi di bilik kiriku. Mengganggu sistem kerja darah dalam tubuhku. Bagaimana bisa setitik kerinduan mampu mengoyak sebuah jiwa yang sedang gundah di sebuah jalan penuh penantian? Aku terdiam meresapi aroma secangkir kopi. Yang perlahan-lahan mencoba membunuhku. Aku tahu penawarnya, namun tak kupakai ia. Pahit yang enggan aku teguk bukan karena aku membencinya. Aku butuh rasa lain dalam kehidupan hampaku. Hidupku terlalu pahit untuk disandingkan dengan pahitnya secangkir kopi. Kopi hitam tanpa gula, apakah benar ia pelipur lara?

Sendiri dan sepi. Tempat dimana aku temukan banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Pertanyaan yang senantiasa mematikan sisi kerja otak kiri. Aku adalah ironi. Yang selalu terdiam di tengah gemerlap panggung dunia. Tak salah jika kusebut sepi adalah teman setia bagi hati. Sepi selalu diam-diam memperhatikan hati. Sepi adalah tempat dimana hati bermukim ketika terluka. Tetapi aku tidak akan mati dikoyak sepi. Aku akan menjelma sepi yang akan diam-diam mengawasimu. Dalam tidur di malammu, kamu adalah cahaya sementara aku adalah bayangan yang menempel di tembok kamarmu. Aku akan ada bahkan ketika kau pejamkan kedua matamu. Karena aku adalah sepi yang ada dimana-mana.