Aku
melihatmu terhuyung-huyung di suatu petang,
di
kota di mana jingga terlukis bimbang,
bersiap
menyambut pelik mimpi –ironi,
yang
kemudian biasanya akan kau simpan dalam sajak penuh arti.
“Apa
kau menyukainya?”,
tanyaku
pada satu waktu yang memecah resah di balik sorot teduhmu,
tanganku
tidak cukup kuat untuk menghancurkan topeng yang senantiasa kau kenakan untuk menutupi betapa dalamnya kesedihan,
dan
luka yang senantiasa kau rawat dengan siraman air dari wajahmu yang lelah,
jemariku
teramat lemah untuk mengungkap rahasia-rahasia yang kau sembunyikan di
buku-buku puisi.
Kenangan
yang coba kaubuang lewat jendela yang kaubuka di pagi sunyi,
kau
petik sebiji demi sebiji rasa sakit yang datang bertubi-tubi,
“aku
sama sepertimu”,
kataku
di satu waktu antara isya dan subuh yang kuharap mampu membuatmu berpaling ke
arahku,
yang
kuharap mampu mengisi spasi di antara kita yang sama-sama sendiri.
Lihatlah
bintang-bintang di angkasa,
gapailah
jika kau ingin bersembunyi,
berdua
saja,
bersamaku
sembari mencipta puisi-puisi dari kata-kata yang tak sempat terperi.
Cermatilah
bentang aksara,
yang
kubuat bersama jarum-jarum rumput dan pucuk-pucuk waktu,
di
sela-sela aku terpesona akan percik pesonamu,
ada
kamu yang kujaga agar tetap hangat dalam dingin diamku,
tetapi
aksaraku mencoba merengkuh seluruh dirimu.
Senja
kali ini disambut hujan,
di
sebuah taman dengan membawa pesan penghabisan,
bahwa
kelak kita akan menjelma,
rahasia-rahasia
yang melekat di dinding batas ketidakwarasan,
bahwa
masing-masing dari kita akan tetap,
memeluk
kesendirian.
Yogyakarta, Oktober 2017