Ketika cinta
tak lagi menjelma kata, tiba-tiba aku kembali teringat dengan jelas saat kau
menyisipkan rambut ke telinga kiri. Aku bisa melihat dengan jelas gulungan
kecil ombak di pantai yang putih pasirnya. Saat-saat kau memanggil-manggil
namaku dari bibir pantai yang seakan ingin menelan kita bulat-bulat. Kau tak
pernah membosankan. Entah untuk kupandang atau untuk kukenang.
Di depan kita
menghampar biru laut. Di belakang kita kau dan aku hampir menjelma sepasang
kaus tangan yang dirajut dengan penuh kasih sayang di suatu musim dingin yang
tak pernah terbayang. Benang-benang yang saling tindih-menindih berusaha
mencipta kehangatan yang gagal saling menghangatkan. Kau menatapku penuh harap
suatu ketika. Masih di suatu pantai tapi kau menatapku dari dalam air. Menyelam
mencari-cari diriku di antara indahnya terumbu karang dan ikan-ikan yang sedang
berpesta. Kau menemukan diriku di mana-mana. Aku tidak berada di mana-mana.
“Aksa, apa
yang kaucari saat memandangi langit?” Kau tak pernah berubah. Selalu masuk ke
dalam duniaku secara tiba-tiba. Memaksaku berhenti sejenak dari mimpi yang
sedang aku bangun dari ketidakberdayaan. Laya namamu. Tidak. Aku lah orang yang
ingin memanggilmu seperti itu. Kau tertawa saat pertama kali aku memanggilmu
dengan sebutan Laya. Nama Laya asing bagimu, padahal artinya tidak. Kau
bertanya-tanya apa arti dari Laya. Kau menereka-nerka apa arti dari Laya. Kau
bertanya-tanya mengapa aku memanggilmu Laya. Kau selalu bertanya dan menerka.
Kau selalu menanyakan persoalan yang jawabannya ada di dalam dirimu sendiri.
Aku tak akan akan mengatakannya padamu. Biar nama “Laya” menjadi sebuah misteri
bagimu. Entah sampai kapan.
Aku adalah
Aksa. Aku berarti jauh. Aku berarti aksara. Ra yang menghilang entah sejak
kapan. Aku menjadi jauh bagi siapa pun orang yang aku sayangi. Aku adalah
kata-kata yang terlalu jauh untuk kausentuh, Laya. Kau tak akan pernah
memahamiku. Kau tak akan pernah bisa menjadi milikku jika kau tak bisa
menyadari bahwa aku selalu milikmu. Kau ingin mengubahku menjadi keberanian
yang menyuarakannya ke semua orang dengan kebanggaan di dada. Kau ingin aku
menghadap semua orang dengan menunjukkan apa yang kurasa. Tapi aku bukan
ucapan, Laya. Aku adalah kata-kata yang dituliskan. Dimanifestasikan oleh
abjad-abjad yang dilumuri dosa oleh manusia. Aku adalah aksara. Terlalu jauh
untuk kaurengkuh. Aku adalah aksara yang siap menghujanimu dengan sajak-sajak
penuh nyawa. Yang selalu berusaha mengabadikanmu di dalam puisi cinta dan
keputusasaan. Aku yang akan memasukaanmu ke penjara jeda kata-kata. Maka aku
adalah Aksa.
“Siapa yang
kaucari di hamparan langit biru, Aksa?” Kau memang tak pernah bosan berada di
dekatku. Selalu mengganggu keterasinganku. Apa yang kulihat adalah kamu, Laya.
Siapa yang kucari tentunya itu kamu, Laya. Kau adalah manifestasi dari langit
biru. Kau bukan sekadar warna biru yang meluas dalam dirimu melalui sebuah
nama. Kau adalah langit. Cakrawala. Kau adalah garis tipis yang mempertemukan
langit dan bumi. Kau begitu sulit untuk kucari, Laya. Aku tahu siapa dirimu. Kau
adalah maya yang membatasi langit dan bumi. Kau adalah apa yang orang sebut sebagai
dunia khayal. Tapi kau nyata bagiku. Aku nyata. Kau nyata. Kita nyata.
Perasaanku dan perasaanmu. Perasaan kita nyata. Aku milikmu adalah kenyataan,
Laya. Kau milikku adalah maya, Laya.
“Memangnya apa
yang menarik bagimu?” Mulutku terasa kelu, tapi kata-kataku entah muncul
darimana. Kau kebingungan. Tak paham betul tentang pertanyaanku.
“Apa yang
menarik bagiku?” Kau mengulangi pertanyaanku. Bagai anak kecil yang baru saja
meluncur dari perosotan dan berteriak ingin mengulanginya sekali lagi.
Kulirik dari
ujung mataku wajahmu yang penuh tanda tanya. Matamu menatapku tajam.
Mencari-cari maskud pertanyaanku di mataku. Wajahku kaubuat telanjang dengan
binar indah matamu. Matamu benar-benar memerangkapku, Laya. Jauh di dalam
kesadaranku, matamu adalah penjara yang paling menyiksa bagiku. Bagaimana bisa
kau memiliki mata seindah itu. Bagaimana bisa kau memiliki sesuatu yang
senantiasa aku cari-cari. Aku mencarinya hingga ujung langit. Aku mencarinya
hingga langit jatuh di suatu senja pada pelukan bumi. Aku malah menemukannya
pada dirimu. Mata langit. Aku benar-benar hidup dalam penjara yang tak sengaja
kaubuat. Penjara yang bahkan tak kausadari bahwa kau memilikinya.
“Apakah aku
terlihat menarik bagimu?” Entah dari mana pertanyaan itu muncul. Aku mengutuk
diriku yang tidak bisa menyadari liarnya ketidaksadaranku. Aku menghitung
sejumlah kemungkinan dari jawaban dan tanggapanmu seperti menghitung satelit
buatan manusia dari bumi. Mustahil. Aku tak bisa menebak satu kemungkinan pun.
“Hahaha.” Kau
tertawa. Suara tawamu menggema.Tawamu kali ini benar-benar menyiksaku. Diluar
dugaan yang tak bisa kuduga.
“Kau lucu
sekali, Aksa. Tak kusangka pertanyaan itu muluncur dari mulutmu.”
Aku mendengus
kesal. Kubuang wajahku kembali kea rah langit. Tak sanggup memahami arah mana
yang ingin kau tuju.
“Aksa, lihat
aku.”
Entah apa
maksudmu. Aku memandangmu, tapi pandanganku tidak tertuju ke wajahmu.
“Maksudku,
lihatlah aku. Tataplah mataku, Aksa.”
Aku menatap
jauh ke dalam matamu. Aku menemukan seseorang di sana. Ya, sosok yang kutemukan
adalah diriku sendiri. Diriku yang terpenjara dan tak bisa melakukan apa-apa.
Diriku yang tak mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Antara aku dan
kamu terdapat sesuatu yang tak dapat kupahami.
“Apa yang
menarik bagiku adalah dirimu, Aksa. Tidak ada yang lain.” Kau berkata dengan
penuh keyakinan. Matamu menatapku tajam. Keseluruhan dirimu benar-benar
membiusku, Laya.
Aku seakan
terbang. Mengangkasa entah setinggi apa. Otakku kembali memutar waktu saat-saat
mata kita pertama kali saling bertemu. Tak mengucap sepatah kata. Tatapan mata
kita jauh lebih bermakna daripada sekadar kata-kata. Aku adalah kata-kata. Dan
aku benar-benar tidak berdaya terhadap tatap mata.
Aku mulai
melihat sesuatu lain di dalam matamu. Selain diriku yang terpenjara, ada
seseorang lagi di sana. Dia berada tidak jauh dari penjara yang mengurungku.
Matanya menatap jauh ke depan. Aku tahu dirinya mengharapkan suatu hal baik.
Dan aku tahu yang sedang orang itu harapkan adalah cinta dari seorang anak
laki-laki yang tidak mampu ia pahami. Seseorang itu berada di dalam matamu,
Laya. Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti apa yang sedang terjadi.
Dan sejak saat
itu aku tersadar….
Kage-