Air mata di
pipiku diusap perlahan dengan dingin tangannya. Dia tersenyum. Dia menatapku
seakan bintang-bintang adalah binatang peliharaan yang dia suruh untuk bersinar
di malam itu. “Gelap begitu menakutkan”, begitu dia berkata saat itu. Jujur
saja aku tak paham tentang apa yang dia maksud. Dia adalah laki-laki yang sering
meyelipkan makna tertentu di setiap ucapannya. “Gelap begitu menakutkan,” dia
mengulanginya sekali lagi, “tapi kita baik-baik saja.”
Aku termenung
di peron kereta. Malam ini gelap dan aku tak bisa melihat bintang-bintang. Aku
benci kota di malam hari, sebab bintang-bintang enggan menampakkan dirinya;
takut dilukai oleh manusia. Kereta yang kutunggu tak kunjung datang. Aku
bertanya apa mungkin kereta sedang tersesat. Ia barangkali tak tahu arah sebab
bintang enggan hadir untuk menunjukkannya.
Aku menatap
potret wajahnya di layar telepon genggam. Otakku bekerja amat keras untuk
mengingat setiap kata yang pernah dia ucapkan. Aku tenggelam dalam kenangan;
tentang janji-janji hari esok yang kami ingkari dan juga hal-hal bukan janji
yang kami penuhi. Kata-katanya bukan sabda nabi, tetapi apa yang dia ucapkan
terpatri erat dalam hati.
Di suatu malam aku duduk berdua dengannya di ujung perosotan di sebuah taman kota. Membicarakan hal-hal berat seperti yang biasa kami lakukan: tentang penderitaan seorang anak manusia.
“Aku ini
lelaki payah. Tidak sanggup mengantar-jemput kepergian serta kedatanganmu. Aku
tidak sanggup membawamu ke suatu tempat yang jauh: tempat yang bisa kita
singgahi berdua saja sembari melupakan seluruh masalah kita di kota ini.
Bukannya aku ingin lari dan melarikanmu dari masalah, tetapi kita butuh suasana
yang berbeda bukan.” Dia sedikit terkekeh setelah mengakhiri kalimatnya, tapi
ternyata belum usai, “aku tidak punya apa-apa, tetapi mengapa kamu sudi untuk
memilikiku?”
“Aku tidak
bisa membiarkan pemuda sepertimu berjalan tertatih-tatih dalam pedihnya
kehidupan. Aku bukannya kasihan terhadap dirimu yang penuh penderitaan, aku
hanya merasa kaubutuh teman untuk mengarungi kejamnya samudra kehidupan ini.
Dan menurutku aku adalah orang yang tepat.”
Suasana saat
itu kembali hening. Aku kembali menyandarkan kepala di bahunya. Bersandar pada
penderitaan yang telah dia tanggung begitu lama.
“Kata
Dostoyevsky penderitaan adalah sesuatu yang menakjubkan” aku melanjutkan
perkataanku. ” Aku melihatnya dalam dirimu. Kau begitu menakjubkan. Dengan
seluruh penderitaan yang kautanggung biarlah aku menjadi saksi betapa hebatnya
dirimu kelak akan menaklukkannya. Aku ingin tetap berada di sisimu.”
Dia mentapku
tak percaya. Pikirannya tak menyangka aku bisa mengatakan kalimat yang sedikit
melunakkan hatinya yang keras.
“Kalau kau
masih ragu dengan dirimu, mengapa waktu itu kau mengungkapkan perasaanmu
kepadaku?” Aku begitu sabar menghadapi keraguannya. Dia adalah seorang pemuda
yang memiliki idelisme yang kuat, tetapi di dalam dirinya tersimpan keraguan
yang amat besar.
Angin malam
menelisik lembut telingaku. Kudengarkan simfoni yang hanya bisa dicptakan
malam. Kupejamkan mataku seraya menunggunya menjawab pertanyaanku.
“Aku amat
menderita dengan menyimpan perasaan ini. Aku pikir dengan mengungkapkannya
kepadamu penderitaanku akan sedikit berkurang. Namun, yang aku temukan hanyalah
penderitaan-penderitaan dalam bentuk yang lain.”
Aku mengerti
betul apa maksudnya. Dia seakan tak sanggup untuk berada di sisiku. Hal itu
hanya menimbulkan penderitaan baginya. Tapi dia menyayangiku, dan aku pun juga
menyayanginya. Begitulah kami tetap bersama meski dia tetap akan menderita
karenanya.
Terkadang aku
pun juga tak habis pikir bisa mencintai seorang laki-laki sepertinya. Seorang
laki-laki yang tak punya ayah, harta melimpah, putus kuliah, dan mungkin juga
tak punya masa depan yang menjanjikan. Yang dimilikinya adalah sosok ibu yang
sakit-sakitan, adik yang sering disakiti oleh keluarga majikan di tempatnya
bekerja, masa lalu yang kelam, dan juga penderitaan tanpa batas. Bahkan dengan
semua penderitaan dalam dirinya aku masih sanggup untuk mencintainya.
Hubungan kami
hanya berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan. Tujuh bulan yang membuatku
belajar banyak hal tentang hidup. Tujuh bulan paling berharga dalam hidupku.
Dia adalah orang yang mengajariku banyak hal secara langsung maupun tidak
langsung.
Aku masih
termenung di peron kereta. Dingin angin malam masih kalah dingin dengan
tangannya yang mengusap air mata di pipiku waktu itu.
Aku tak
percaya kala itu. Aku mengerti tentang apa yang dia ucapkan, hanya saja aku
menolak untuk sadar dengan kenyataan. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Tatap matanya menjadi lebih dalam. “Apa yang kaumaksud dengan baik-baik saja?
Kautahu kita tidak sedang baik-baik saja. Mengapa kau mengatakan kita baik-baik
saja?” Kemarahanku kala itu meluap tanpa bisa kucegah. Sungguh aku tak tahu
waktu itu apakah aku sedang menghadapi perpisahan. Aku merasa aku menghadapi
puncak penderitaannya yang entah sudah ke berapa.
“Kita akan
baik-baik saja.”
“Berhentilah
mengucap kalimat itu!!”
Aku marah dan
semakin deras air mataku.
“Jika kita
baik-baik saja, maka jangan pergi dari sisiku. Jika kau menyayangiku tetaplah
di sini.”
“Banyak hal
yang telah kita lalui bersama. Seperti nelayan yang menebar jaring, dengan
jaring nelayan bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Kita sudah banyak
menjaring kebahagiaan untuk diri kita berdua, bahkan di tengah penderitaanku
yang tak kunjung usai, melihatmu saja sudah merupakan kebahagiaan bagiku.”
Tujuh bulan
yang berharga usai di malam yang amat menyakitkan waktu itu. Kulihat dirinya
menghilang perlahan. Aku tak sanggup menghentikan kepergiannya. Aku tak bisa
menghentikan takdir yang memisahkan kami secepat itu. Kalimat terakhir yang
kudengar dari dirinya sungguh adalah kalimat yang indah, tapi menusukku
berkali-kali tepat di hati.
“Jika ada satu
hal yang tak bisa dijaring oleh nelayan, ketahuilah, hal tersebut adalah keabadian.
Cinta kita abadi, tetapi kita tidak.” Dia tersenyum. Sesaat kemudian dia menghilang seutuhnya.
Kage-