Perempuan yang Ingin Menghilangkan Ingatan

 Aku menderapkan langkah menuju sosok perempuan yang sedang duduk sendirian di sana. Di bagian ujung peron kereta, terpisah dari keramaian kental para penumpang yang sedang menunggu kereta yang hendak membawa diri masing-masing ke tujuan. Perempuan tersebut memiliki sepasang bola mata yang dalam. Entah apa yang sedang dilihat oleh perempuan tersebut, sesuatu yang berada sangat jauh dari dirinya saat ini.

Aku tertarik mendatangi perempuan tersebut. Selagi aku juga menunggu kereta, aku pikir duduk di sebelah perempuan tersebut adalah hal yang tepat. Perempuan tersebut tidak terasing, akan tetapi mengasingkan diri. Ada sesuatu yang menarik dari diri perempuan tersebut yang menghisap diriku. Sesuatu yang gelap dan dalam. Aku mengeratkan jaket yang kupakai. Instingku berbicara aku akan dilanda kedinginan yang amat sangat saat berada di dekat perempuan tersebut.

Aku telah duduk di sampingnya. Mataku telah kupicingkan berkali-kali untuk mengabadikan dirinya dalam ingatanku. Dan benar saja, setelah beberapa saat aku duduk di dekatnya, diriku mulai dilanda kedinginan.

Ya. Aku tahu perempuan yang berada di sebelahku ini menyadari keberadaanku, meski dari tadi pandangan matanya jauh menerawang entah ke mana. Malahan aku pikir perempuan ini tahu aku dengan sengaja duduk di sebelahnya.

“Aku pikir saat kecil, aku akan tumbuh dengan bahagia hingga dewasa dan kemudian menjadi tua.”
Kata-katanya meluncur dengan amat lancar. Kata-katanya ditujukan kepada dirinya sendiri, dan juga ditujukan kepadaku.

Setelah mendengar ucapannya, aku memberanikan diri untuk memalingkan wajah ke arahnya. Jauh lebih dalam dari yang tadi. Bongkahan es yang tajam menusuk seluruh tubuhku berkali-kali.

“Dingin sekali di sini.”

“Begitu lah. Aku saja hampir mati kedinginan.”

“Apakah itu jurang yang amat dalam atau puncak gunung tertinggi atau bagian tak tersentuh dari kutub selatan?”

“Palung terdalam. Begitu dalam, gelap, dingin, dan begitu berat. Jantung dan paru-paruku hendak pecah karena tak tahan menahan tekanannya.”

“Kau tenggelam?”

“Ditenggelamkan.”

“Sudah mati?”


“Semua akan menjadi lebih baik jika mati, tetapi aku tidak. Sungguh, ketidakmatianku ini amat menyiksa. Jika aku diberi pilihan, tentu saja aku memilih untuk mati. Atau jika aku diberi satu kemampuan, aku ingin kemampuan tersebut adalah bisa menghilangkan sebagian ingatanku.”

“Jika kau menghilangkannya, kemungkinan akan ada seseorang yang menemukannya. Jika seseorang menemukannya, dan menjadikan ingatan tersebut miliknya, bukankah ingatan itu hanya berpindah dari satu pikiran ke pikiran lain. Palung itu akan menjadi orang lain. Mengapa kau tidak ingin menghapusnya saja?”

“Aku ingin dia yang menemukannya, lalu dijadikannya miliknya. Agar dia tahu bahwa tenggelam di dasar palung terdalam itu amat menyakitkan, apalagi jika tidak mati.”

“Lalu kau menjadi tersangkanya?”

“Aku tidak berpikir sampai demikian. Mau aku atau orang lain yang jadi tersangka, tetap saja jika dia yang menjadi palung maka dialah korbannya. Aku benar-benar tak peduli siapa yang akan menjadi tersangka.”

“Bagaimana jika ingatan itu aku yang menemukannya?”

Perempuan ini menoleh untuk pertama kalinya. Menatap wajahku lekat. Kami beradu pandang begitu takzim. Kami saling terhisap dalam tatapan mata masing-masing. Wajahnya saat kupandang dari depan benar-benar tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Aku hanya merasakan kesuraman, dan kedinginan yang sekali lagi menjalar ke seluruh diriku dengan suhu yang lebih rendah.

Tatapan matanya berpindah dari tatapan mataku ke tanganku yang sedang memegan sebuah buku fiksi.

“Kau menyukaianya?”
“Tidak terlalu. Tapi membaca cerita yang ada di buku ini rasanya seperti membaca suatu kedinginan yang akrab.”

“Akrab?”

Saat perempuan ini bertanya, aku tersadar. Perasaan yang sama timbul saat aku berdekatan dan berbicara dengan perempuan ini rasanya sama saat aku membaca salah satu cerita di dalam buku yang aku bawa.

Suatu kenyataan tiba-tiba menyentak kesadaranku.

“Benar katamu, lebih baik jika aku bisa menghapus ingatan tersebut. Tetapi kau pasti tahu, bahwa sesuatu yang telah ada tidak mungkin benar-benar hilang, sesuatu yang hilang tersebut hanya akan berpindah ke tempat lain, atau bahkan dimiliki orang lain.”

“Jadi, bagaimana perasaanmu saat ini?”

“Kecewa. Kecewa karena aku tidak mungkin menghapus ingatan, tidak mungkin aku memiliki kemampuan untuk menghilangkan ingatan, dan tidak mungkin aku sampai hati menghilangkan ingatanku dan kemudian hanya akan dimiliki orang lain jika ditemukan.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

“Bukan bermaksud menjamah ranah pribadimu, tapi aku pikir kisahmu akan cocok jika dijadikan 
sebuah cerita.”

“Mungkin kau benar. Aku atau kau bisa membuat cerita dari kisahku, dan membagikan kesedihanku dengan lain. Dan aku juga bisa memberikan judul pada kisah cintaku yang berakhir tragis ini.”

“Memangnya apa judul yang tepat untuk kisah tragismu ini?”

“Yah, aku kepikiran salah satu judul cerita yang ada di bukumu itu. Barangkali, cerita yang kaumaksudkan sama dengan kisahku. Perasaan yang sama antara berada dekat denganku dan saat membaca cerita itu.”

Mengapa dia tahu apa yang tadi kupirkan. Bagaimana bisa. Aku terus bertanya-tanya, memeras otakku sampai kering tetes terakhir.

Aku pikir betapa berbahayanya orang dengan kesedihan, apalagi dengan kesedihan yang amat dalam. Dengan luka yang barangkali tak akan pernah hilang dan reda rasa sakitnya.

“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu*?”

Saat dia tiba-tiba mengucapkan perkataan itu, aku baru tersadar bahwa aku ikut tenggelam bersamanya. Jauh sampai dasar palung terdalam.

Betapa menyakitkan apa yang dirasakannya. Dan aku merasakan sesuatu yang tak asing.
Kami sama-sama tertegun, saling mendekatkan wajah masing-masing. Dan nyaring bunyi peluit kereta membelah kebisingan.

*Salah satu cerpen karya Hamsad Rangkuti.

Kage-