Aku
mengambil langkah ke barat. Senja kali ini meluas hening—setidaknya dalam
lapisan serupa lendir yang membungkus tubuhku yang hangat. Aku sudah lelah dengan berbagai macam kehidupan.
Sekarang yang tersisa hanya puing-puing masa lalu yang ternyata selama ini
diam-diam membidik tepat di jantungku. Saat pelatuk ditarik, maka semua yang
kulihat hanya masa getir putih abu-abu. Segala kesibukan yang aku ciptakan
tidak lebih daripada sekadar upaya-upaya kecil untuk menyembuhkan diri.
Aku
sedikit terkejut saat menemukan diriku dalam keadaan baik-baik saja. Sempurna
tanpa luka yang bisa dilihat mata. Aku masih bisa tersenyum. Aku masih bisa
tertawa. Tapi aku tetap masih tak bisa mencintai. Tepatnya, aku sudah tak
berdaya untuk melupakan seseorang. Orang lain hanyalah orang asing. Mereka
melambaikan tangan dari kejauhan luar. Sesekali ada yang berteriak menyebut
namaku. Yang lain mengetuk kaca yang basah karena hujan. Tapi hanya sunyi yang
kudengar; hanya gelap yang kulihat.
Caraku
menghadapi rasa sakit adalah dengan menikmatinya. Aku masih sering ke pantai
tempat kita menguras waktu: memandangi buih air laut tepat di bibir pantai;
menikmati kebisingan mungil yang diciptakan orang asing. Sementara kita tak
pernah mengambil sikap terhadap orang-orang yang tak pernah peduli pada
kesejatian hidup. Diam-diam kita saling menilai orang. Lalu membagi mereka
menjadi dua jenis, bukan baik buruk, melainkan orang-orang yang mencari
kebahagiaan dan orang-orang yang mencintai kesedihan. Tentu saja hasilnya
timpang. Agar kita belajar dari orang-orang yang mencintai kesedihan, begitu
katamu. Memangnya apa yang bisa kita pelajari dari mereka selain kenyataan
bahwa mereka gemar menyimpan rapat-rapat kesedihan dan merawatnya seperti anak
sendiri. Tapi kamu hanya tersenyum setiap kali aku menyinggung hal itu.
“Kelak
kamu akan tahu apa yang aku sukai dari mereka yang mencintai kesedihan.”
“Apakah
aku harus meyerahkan kepada waktu untuk mengetahui jawabannya?”
Kamu
mengusap rambutku perlahan, seperti seeorang ibu yang mengusap anak
kesayangannya. Aku masuk ke dalam matamu. Entah mengapa aku gemar berada di
sana. Lebih luas daripada semesta.
“Kamu
tahu apa yang dicari manusia dalam hidupnya? Kebahagiaan. Manusia akan sukarela
mandi keringat, menoreh luka, menguras air mata, dan bersimbah darah untuk hal
yang dinamai kebahagiaan. Dan bagiku, manusia yang tidak mencari kebahagian
adalah orang paling mengerti hidup, dan juga cinta.”
“Jika
ada orang yang tidak mencari kebahagiaan, lantas apa yang dicarinya dalam
hidup?”
“Entahlah.
Aku juga tidak mengerti. Selama ini aku hanya mengenal dua orang yang mencintai
kesedihan.”
“Siapa?”
“Yang
pertama ayahku.”
Kulit
tanganmu terasa semakin lembut mengusap wajahku. Dan suara yang kamu hasilkan
terdengar jernih dan sangat dalam. Persis seperti lagu pengantar tidur. Ia
membuaiku dalam ketertegunan panjang. Diiringi debur ombak yang mengalun
seperti melodi tarian sufi.
“Yang
kedua?”
“Kamu.”
Badai
tak pernah reda. Ia hanya sesekali mereda untuk mempersiapkan badai berikutnya
yang mungkin akan lebih dahsyat. Dan begitulah aku saat ini. Setelah sekian
lama aku tak merasakan badai, kali ini badai itu menghantamku sangat kuat.
Barangkali ini adalah badai terkuat yang pernah aku rasakan.
Aku
sibuk menghitung luka. Sementara aku tak tahu kamu sedang sibuk menghitung apa.
Aku mengerti sekarang tentang perkataanmu dulu. Aku benar-benar jatuh cinta
dengan kesedihan. Bahkan, lukaku selama ini nyaris sembuh oleh seorang
perempuan yang juga mencintai kesedihan. Tapi ada bagian dari diriku yang menolak
disembuhkan. Ia adalah bagian diriku yang kamu namai dengan dengan namamu. Ada
banyak perempuan yang bersedia menyembuhkan lukaku. Tapi mereka mencari
kebahagiaan. Mereka orang-orang yang hanya ingin menangis ketika bersedih. Mereka
bahkan tak sanggup mengetuk kaca yang basah karena hujan.
“Bolehkah
aku mengajukan sebuah permintaan? Sebuah permintaan sederhana.”
“Bagian
yang paling mengesalkan dari sederhana adalah kerumitan yang diam-diam
bersembunyi di baliknya.”
Kamu
lalu tersenyum. Mencipta selengkung senyum di bibirmu. Serupa bulan pada awal
kemunculan. Lengkungan yang siap menampung hujan kesedihan.
Kembali
kamu mengusap rambutku. Mempermainkannya seperti anak kecil yang memintal
benang. Aku iri dengan rambutmu, katamu. Tapi aku justr kagum dengan rambut
bergelombangmu. Rambutmu adalah mahkota alami yang dianugrahkan Tuhan. Seperti
hutan yang sulit dijelajahi. Setiap petualang yang memasukinya akan tersesat.
Kecuali aku, tentu saja.
”Jadilah
hujan. Hujan yang meski dibenci banyak orang, tetapi senantiasa menjatuhkan
diri ke bumi membawa berkah berupa air yang akan menghidupi ladang dan
hewan-hewan kehausan. Hujan yang meredam hawa nafsu dan murka. Jadilah hujan
yang setiap jatuhnya seperti penghabisan. Jatuh dengan kesukarelaan dan ketabahan.
Tapi yang paling penting, jadilah hujan untuk dirimu sendiri.”
“Lalu
setelah itu, apa?”
“Mengapa
kamu malah bertanya seperti itu? Itu tadi permintaanku. Yang entah apakah aku
bisa melihat kamu menepatinya atau tidak.”
Gerimis
pun turun. Dingin perlahan melingkupi tubuh yang telah kuyup oleh pertanyaan-pertanyaan
musykil. Dan itu adalah badai pertama yang membuat segala sesuatunya menjadi
puing-puing. Segalanya menjadi tonggak untuk mengingatmu. Mengenang saat-saat
kita menghitung langkah ayam maupun membaca jaring laba-laba. Kita kebingungan,
lalu bersipandang, dan akhirnya tertawa.
Butuh
berapa badai lagi yang harus aku lalui untuk melupakanmu. Butuh berapa banyak
lagi kesedihan yang harus kurasakan untuk menghapus jejak keberadaanmu. Butuh luka
seperti apa lagi agar aku bisa mencintai perempuan lain. Aku sudah lelah dengan
semuanya. Aku tahu seribu satu cara untuk melupakan. Tapi tidak untukmu. Kepalaku
telah lama menjadi kamar tidurku.
Bulan
sabit meninggi, serupa senyummu. Aku tiba di kamar dan ambruk di kasur. Aku
terjatuh seperti burung yang ditembak pemburu. Peluru menyasar sayapku dan
mematahkannya.
Di luar gerimis mengalun. Mencipta nyanyian selamat
tinggal yang tak asing di telinga. Di lain tempat mungkin kamu sedang
bergembira. Atau mungkin kamu sedang melakukan ritus suci mencintai kesedihan. Sementara
aku di sini menutup mata, tapi semuanya tetap bisa kulihat jelas. Tanganku
mencoba meredam apa yang terlukis di wajah. Sayup-sayup kudengar sebuah
nyanyian. Bukan berasal dari gerimis di luar. Tanpa sadar aku menangis.
Senyanyi tangisan indah tentang sebuah kehilangan.
Aku membuka mata dan tak melihat apa-apa.
Kage-