Yama
terbangun saat langit tengah berwarna merah merekah. Terhitung sudah lima malam
Yama tidur di deretan tebing pantai. Harinya-harinya ditemani bau ombak, angin
yang menusuk, dan kesunyian panjang. Akhir-akhir ini ia berusaha mendefinisikan
ulang makna hidupnya, dan juga namanya. Itulah mengapa ia mengurung diri dalam
balutan alam.
Yama
adalah gunung. Semasa kecil, dengan bangganya Yama memamerkan makna namanya di
hadapan teman-temannya. Bahwa ia akan menjadi seperti gunung: Tangguh, kuat,
sulit ditaklukkan, dan berdiri lebih tinggi dari yang lainnya. Hal itu
diketahuinya setelah bertanya kepada ayahnya di suatu senja yang pecah. Senja yang
paling diingatnya karena semenjak saat itu, terhitung Yama tidak lagi memiliki
sesuatu yang bisa disebutnya rumah.
Yama
adalah gunung. Tetapi ia sangat mencintai lautan. Ia memang belum pernah mengarungi
lautan lepas yang ganas. Baginya, mencintai sesuatu tidak harus mengenal betul
sesuatu itu. Ia sudah puas mengagumi dinginnya kedalaman laut dari bibir
pantai. Seperti yang sering dilakukannya ketika segala sesuatunya tidak
berjalan sesuai keinginannya.
Butuh
waktu yang sangat lama bagi Yama untuk menata pikirannya kembali. Mengurai benang-benang
kusut di kepala. Hidup menjadikannya seorang perenung andal. Ia lebih banyak
berpikir dari orang lain. Ia lebih sering termenung dari orang lain. Ia lebih
banyak bersedih dari orang lain. Dan tentu saja, ia adalah salah satu orang
yang paling menderita di muka bumi.
Yama
berusaha keras mencari alasan keberadannya di dunia, alasan baginya untuk terus
hidup. Setelah banyak hal dilalui, Yama kehilangan alasan hidup satu demi satu.
Ia mengingat-ingat apa yang dimilikinya dan apa yang telah hilang darinya. Ia merasa
menjadi orang yang paling banyak kehilangan. Terlebih, ia tidak bisa ingat apa
yang telah ia gapai dalam hidupnya.
Yama
mengingat dengan sangat jelas masa kanak-kanaknya yang penuh dengan impian dan
kebahagiaan. Bagaimana ia selalu tersenyum. Bagaimana ia selalu berusaha
melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian orang lain. Bagaimana ia
tertawa bahkan pada hal-hal yang sederhana. Tawa yang baru ini disadarinya
bahwa tawa itu dilakukannya semata-mata untuk menertawai diri sendiri.
Saat
beranjak dewasa, impiannya itu gugur satu per satu. Bagai prajurit yang maju ke
medan perang dengan anggapan bahwa kemenangan pasti diraihnya, impian-impian
itu gugur dengan mudah dan cepat. Yama berusaha keras merangkai mimpi. Tetapi
apa yang dilihat di masa depan selalu hal yang menakutkan.
Yama
merasa ia tak bisa lagi merasakan kebahagiaan seperti saat ia masih
kanak-kanak. Baginya, kebahagiaan yang dapat dirasakannya sekarang adalah
kebahagiaan semu. Ia masih sering tersenyum, tertawa, dan bercanda. Namun, ia
gagal menemukan alasan dan makna dari hal-hal tersebut.
Semakin
manusia mengenali dirinya, semakin banyak manusia merasakan kehilangan. Yama juga
merasakannya. Ia sangat paham akan hal itu. Ia kini mengenali bahwa dirinya
adalah seorang pecundang yang naif. Ia selalu mengharapkan pertolongan, bahkan
di saat ia tahu bahwa tak ada yang mau dan sanggup menolongnya. Yama selalu
merasa bahwa dirinya dilahirkan hanya untuk selalu sendiri dan memaknai
kesepian yang gagal dilakukannya.
Langit
meluas bening. Kedua mata Yama berusaha keras menelanjangi langit biru, padahal
ia tahu bahwa langit telah telanjang. Hanya ada matahari yang membakar
pandangannya di atas sana. Sementara itu angin berembus kencang. Angin itu membawa
hawa dingin entah dari mana. Dilihatnya jam yang melekat di tangan kirinya. Pukul
sepuluh. Yama mencoba mendengarkan bunyi jarum jam di tengah desau angin yang tak
ada habisnya. Yama memang bodoh dan sering gagal, bahkan untuk hal-hal yang
sepele. Didekatkannya pergelangan tangan kirinya ke telinga. Kelopak matanya
terkatup. Ia dengan saksama mendengarkan bunyi jarum jam yang berlomba-lomba
dengan bunyi detak jantungnya. Takzim dapat dilihat dari wajahnya yang kacau. Ia
berusaha menyamakan ritme keduanya, tapi tentu saja ia gagal. Ia selalu
megusahakan hal-hal yang sudah diketahuianya akan gagal. Ia begitu naif. Ia menyadarinya
tetapi tak ada hal yang bisa dilakukannya.
“Yama.”
Dibukanya
kelopak matanya saat Yama mendengar namanya disebut. Bukannya langsung berbalik
agar ia mengetahui siapa orang itu, Yama malah berusaha menerka dan
mengingat-ingat dari suranya yang samar.
“Yama
bodoh.”
Yama
tetap bergeming. Sekrup di kepalanya masih kendor. Selama lima hari menyendiri
di pantai, Yama gagal mengencangkan sekrup yang nyaris terlepas itu. Tapi,
kewarasannya masih terjaga. Meskipun ia tahu jika satu lagi peristiwa
mengguncang perasaannya, maka sekrup itu akan terlepas dan kewarasannya akhirnya
melayang.
“Tiga
hari ini aku selalu mencarimu. Aku tidak menemukanmu di tempat tinggalmu. Teman-temanmu
yang aku kenal tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Aku pun sempat ke
rumahmu. Di sana ibumu masih seperti biasa. Ia berpesan agar jika aku
menemukanmu, maka aku harus membawamu pulang.”
“Aku
tidak punya tempat untuk pulang.”
“Yama
bodoh,” perempuan yang sedang berdiri di sampingnya mengepalkan kedua tangannya
gemas. Tapi perasaan geram dan gemas itu luntur perlahan saat diperhatikannya
senti demi senti tubuh Yama. Aroma tidak sedap menguar dari badannya yang lima
hari ini tidak mandi. Rambutnya ruwet dan pasti lengket jika disentuh. Wajahnya
kacau dan tanpa ekspresi. Dan parahnya, perempuan itu menanyakan satu hal bodoh
yang menjadi awal persitiwa yang mengguncang Yama di tengah hidupnya yang
dipenuhi badai. Mimpi yang gugur dan cinta yang gagal adalah kombinasi sempurna
bagi keputusasaan manusia. “Apakah kamu baik-baik saja?”
Ekspresi
wajah Yama berubah. Matanya membelalak dan mulai berfokus ke lautan lepas yang
jauh di sana. “Kamu yang bodoh, Kirana.”
Perempuan
itu bernama Kirana. Kirana adalah cinta masa muda Yama. Meski sesaat, Kirana
sempat menemani Yama dalam masa-masa sulitnya. Tapi hanya sebatas itu. Cinta
yang gagal menambah daftar panjang kekalahan telak dalam hidup Yama. Yama selalu
merasa bahwa Cupid, Dewi Cinta, selalu memusuhi Yama. Berkali-kali ia mencoba,
tapi akhirnya selalu sama: Kegagalan.
Kirana
terkejut. Ia sadar bahwa ia telah salah dalam berbicara. Berbicara dengan Yama
memang membutuhkan strategi dan taktik. Karena sebenarnya, Yama adalah seorang
yang penuh siasat, tetapi ia lemah.
Yama
akhirnya menoleh untuk melihat wajah Kirana. Di sana, ada ekspresi kegetiran,
kemarahan, dan belas kasih yang menjadi satu.
Yama
juga mengasihani dirinya sendiri. Saat Yama menyadari bahwa ia mengasihani
dirinya sendiri, ia tahu bahwa ia adalah pecundang.
“Pulanglah,
ibumu menunggu.”
“Kamu
benar-benar bodoh, Kirana.”
Setelah
itu mereka berdua takzim mendengarkan desau angin yang berembus kencang. Mata Yama
kembali menatap lautan lepas. Sementara mata Kirana menatap mata Yama dari
samping. Dilihatnya lautan tengah diamuk badai sangat ganas di sana. Lautan yang
lebih mengerikan daripada lautan yang ada di hadapan mereka berdua.
“Osamu
Dazai pernah berkata dalam novelnya: Ia ingin percaya bahwa manusia terlahir untuk
cinta dan revolusi. Aku setuju dengannya. Jadi aku juga ingin percaya sepertinya.
Tapi lambat laun, setiap kali aku gagal dalam suatu hal, pertanyaan ini selalu
muncul di kepalaku: Jika manusia memang terlahir untuk cinta dan revolusi,
bagaimana aku yang gagal di kedua hal itu masih bertahan hidup? Masih adakah
hal yang bisa kujadikan alasan untuk terus hidup? Masih adakah tempat bagiku
untuk berteduh di dunia ini?”
Sunnguh, tiadakah tempat
berteduh di sini?
Kirana
mendengarkan dengan saksama Yama yang sedang berbicara panjang. Ia berharap,
setelah Yama mengeluarkan segala keluh kesahanya, Yama akan kembali seperti
sedia kala.
Tapi
Kirana salah. Entah keyakinan dari mana, Yama merasa itu adalah penghabisan
dalam hidupnya. Setelah keluh kesahnya berakhir, ia hanya bisa melihat hitam di
sekelilingnya.
Kirana
tidak sadar bahwa kehadirannya di situ menambah luka bagi Yama. “Apakah kamu
masih mencintaiku?”
Telak.
Itu adalah puncak peristiwa yang menggetarkan sanubari Yama.
Ditatapnya
kedua mata Kirana dengan tajam. Kirana merasa ditelanjangi oleh tatapan yang
mengerikan itu—penuh amarah yang selama ini ia pendam.
“Lima
tahun. Itu bukan waktu yang singkat di mana seseorang tak pernah lelah
mendoakan keselamatan orang yang dicintainya. Mengharap bahwa kebahagiaan
selalu menyertainya.”
Berbeda
dengan tatapan matanya yang tajam, suara yang keluar dari mulut Yama adalah
suara yang lirih dan penuh kepedihan.
“Aku
pernah menceritakan padamu arti namaku. Yama berarti gunung. Tapi tahukah kamu,
dalam kepercayaan Hindu dan Budha, Yama adalah nama seorang dewa. Dewa itu
disebut Batara Yama. Batara Yama adalah dewa kematian. Sejak aku mengetahui hal
itu, aku mulai mendefinisikan ulang makna namaku beserta harapan pemberian nama
yang diberikan ayahku. Ayahku yang malang. Ayahku yang telah kalah dan akhirnya
menyerah.”
“Kamu
tidak berpikiran untuk mengakhiri hidupmu sendiri kan?”
“Tentu
saja tidak. Aku tahu kamu tak pernah mencintaiku. Tapi kehadiranmu di saat aku
sedang berada di titik terlemah adalah pembuka jalan dalam diriku yang disebut
cinta. Meski aku tahu bahwa cinta yang aku rasakan hanya akan berakhir dengan
penderitaan. Selalu seperti itu. Cinta dan penderitaan adalah dua sisi mata
koin dalam hidupku. Tidak, aku tidak marah kepadamu atau kepada mata nasib yang
merah dan mulutnya yang tersenyum licik. Aku hanya putus asa. Segala yang
kulakukan tidak menjadikanku orang yang lebih baik dari sebelumnya. Setiap kali
aku menemukan kepingan diriku, aku justru semakin kehilangan diriku. Aku hanya
merasakan keputusasaan yang amat sangat menyiksa.”
“Tapi
Murakami bilang bahwa tidak ada keputusasaan yang sempurna.”
“Sekarang,
kamu malah mengutip Murakami. Kamu bodoh, Kirana. Kamu sungguh bodoh. Meski sejak
pertama kita kenal, kamu yang selalu mengataiku bodoh. Ternyata, kamulah yang
sebenarnya bodoh. Jika Murakami merasakan keputusasaan yang sempurna, tentu ia
sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tentu ia sudah mati.”
***
Siang
itu, di bawah matahari yang menyengat garang. Aku berjalan tanpa tujuan. Aku mengunjungi
setiap tempat yang memberikan kesan selama hidupku.
Di
tengah keputusasaanku yang sempurna, ternyata aku masih mencari-cari alasan
untuk terus hidup di dunia yang kejam ini.
Di
sebuah jembatan, langkahku terhenti. Aku memutuskan untuk menikmati air sungai
yang jernih.
Sekrup
di kepalaku sudah lepas. Tapi aku tidak kehilangan kewarasan. Aku masih
berpikir jernih, meski bayang-bayang kematian sekarang terletak sejengkal dari
diriku.
Aku
selama ini tak pernah berniat mati, apalagi mengakhiri hidup. Aku hanya tak
merasakan apa-apa lagi dalam menjalani hidup. Semua peristiwa hanya terjadi
begitu saja. Tidak ada lagi yang bisa membuatku senang ataupun sedih. Sesungguhnya,
apakah nilai dari menjalani hidup ini? Aku tidak bisa menemukan jawabannya. Mesin-mesin
di otakku telah aus dan berkarat. Aku sudah tidak sanggup berpikir seperti dulu
lagi.
Di
bawah sana, aku melihat seekor anjing tengah tenggelam. Aku hanya memandanginya
Di kepalaku terputar sebuah imajinasi jika anjing itu adalah aku.
Aku
tidak punya niatan untuk menyelamatkan anjing itu. Aku tidak bisa berenang. Aku
juga membenci binatang, terutama anjing. Terlebih, aku bukanlah seseorang yang
akan berkorban banyak untuk orang lain, setelah apa yang aku alami dalam hidup
ini. Apalagi, yang ada di sana adalah seekor anjing.
Kamu tidak seperti yang kamu
pikirkan, Yama. Kamu adalah seorang pemimpi yang hebat dan pecinta yang tulus.
Ah,
itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Kirana di tebing pantai waktu itu.
Tiba-tiba saja kata-kata itu terlintas dalam ingatanku. Dan sesaat kemudian,
aku telah melompat ke sungai. Aku jatuh tepat di samping anjing yang tengah
tenggelam. Aku meraihnya, kemudian dengan sekuat tenaga melemparkannya ke
tepian. Anjing itu selamat, mengibas-ibaskan bulu rambutnya yang berwarnya
putih. Setelah itu, anjing itu menatapku yang terdiam di tengah sungai.
Entah
dari mana dorongan untuk melompat itu berasal. Aku yang tidak bisa berenang
malah bersikap heroik dengan menyelamatkan anjing yang tengah tenggelam. Aku hanya
diam saja setelahnya. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku menunggu diriku
lenyap jatuh ke dasar sungai.
Kepalaku
perlahan tenggelam. Tapi aku tidak merasa sedih, senang, atau takut dengan
kematian. Aku hanya tersenyum. Senyum yang aku tujukan untuk dunia yang kejam
dan diriku yang kalah olehnya. Sesaat sebelum tubuhku seutuhnya tenggelam, aku
melihat anjing itu lagi. Kali ini, ada seringai di wajahnya.
Saat
tenggelam, di kepalaku kembali terbayang wajah orang-orang dan kenangannya
dalam hidupku. Ayahku yang memberiku nama dan berharap banyak padaku. Ayahku yang
kuat, tetapi akhirnya harus mengaku kalah dan menyerah pada hidupnya. Ibuku yang
senantiasa tabah menghadapi segala kesulitan yang menimpa keluarga. Lalu ada
wajah Kirana, cinta terakhirku. Aku melihatnya tersenyum dan matanya yang
berbinar di awal pertemuan kami. Senyum dan pandangan mata yang membuatku jatuh
cinta seketika—cinta pada pandangan pertama. Lalu aku melihat rambut panjangnya
yang diurai berkibaran karena angin pantai. Itu adalah terkahir kalinya aku
melihat Kirana. Dan terkahir, aku melihat diriku yang kanak-kanak tengah
bermain dengan teman-teman. Aku yang memiliki senyum tulus dan dapat tertawa
lepas. Aku tahu itu adalah sebuah kebahagiaan murni, bukan kebahagiaan semu
seperti yang aku rasakan setelah aku mulai mengenal dunia. Dunia yang ternyata
sangat kejam.
Di
tempat tinggalku, kutuliskan sebuah pesan terakhir untuk berjaga-jaga jika aku
benar-benar akan mati. Aku berharap, seseorang—semoga saja Kirana—menemukan kertas
tersebut sebelum jisimku dikebumikan.
Ternyata,
selama ini keinginan untuk mati itu ada. Keinginan itu tersembunyi jauh di
dalam relung hatiku. Keinginan itu tertutup oleh berbagai macam harapan dan
kenangan yang membuatku tetap hidup. Harapan itu menghilang dan hanya tersisa
kenangan, kenangan itu—entah indah ataupun buruk—membuatku merasa putus asa
setelah aku tidak sanggup lagi berharap.
Kata-kata
Shakespeare itu masih aku ingat dan ternyata terbukti. Karena sekarang, aku tak
lagi memiliki obat untuk membuatku terus hidup. Aku tidak punya tempat untuk
pulang karena keluargaku yang hancur berantakkan dan tidak punya tempat tujuan
karena cintaku yang bertepuk sebelah tangan dan selalu berakhir dengan
penderitaan. Tak lupa, ada banyak mimpi-mimpi yang berguguran selama aku hidup.
Aku tahu aku akan memilih jalan
yang penuh penderitaan, sebab penderitaan adalah jalan yang indah.
Ah,
perkataan-perkataan penulis yang aku ketahui dari membaca buku ternyata
terbukti. Semuanya telah menjadi satu dalam diriku.
Di
secarik kertas yang aku tinggalkan, hanya berisi pesan tentang sesuatu yang
harus dituliskan di batu nisanku nanti. Aku
ingin kalimat ini akan tertulis di nisanku nanti: DI SINI, TERBARING DENGAN
SENYUMAN: SEORANG PECUNDANG YANG KALAH OLEH DUNIA YANG KEJAM.
Boyolali, Juli 2019